Makna Sabar
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena
segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan
terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan
kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan
yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR.
Muslim)
Sekilas
Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui
jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW,
diriwayatkan oleh :
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min
Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits no
18455, 18360, 23406 & 23412.
- Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab
Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.
Makna
Hadits Secara Umum
Hadits singkat ini memiliki makna yang
luas sekaligus memberikan definisi mengenai sifat dan karakter orang yang
beriman. Setiap orang yang beriman digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai
orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’ ( عجبا ). Karena
sifat dan karakter ini akan mempesona siapa saja.
Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan
bahwa pesona tersebut berpangkal dari adanya positif thinking setiap mu’min.
Dimana ia memandang segala persoalannya dari sudut pandang positif, dan bukan
dari sudut nagatifnya.
Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan
kebaikan, kebahagian, rasa bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia akan
refleksikan dalam bentuk penysukuran terhadap Allah SWT. Karena ia tahu dan
faham bahwa hal tersebut merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada
dirinya. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti
sesuatu tersebut adalah positif baginya.
Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu
musibah, bencana, rasa duka, sedih, kemalangan dan hal-hal negatif lainnya, ia
akan bersabar. Karena ia meyakini bahwa hal tersebut merupakan pemberian
sekaligus cobaan bagi dirinya yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya.
Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada
Allah SWT.
Urgensi
Kesabaran
Kesabaran merupakan salah satu ciri
mendasar orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan
bahwa kesabaran merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang
tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah
seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran,
sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah
Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman
sebagaimana hadits di atas.
Namun kesabaran adalah bukan semata-mata
memiliki pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik dengan
ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan
hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar
diimplementasikan dengan melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya
duduk dengan santai dan tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam diri itulah,
sesungguhnya ia belum dapat bersabar melawan tantangan dan memenuhi panggilan
ilahi.
Sabar juga memiliki dimensi untuk
merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju
perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat
diakatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah
begitu saja. Sabar dalam ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan
memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan
menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak
tepat jika hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki nilai
keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif.
Makna
Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang
berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia.
Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar)
menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan
mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)
Perintah untuk bersabar pada ayat di
atas, adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas
orang-orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah
sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang
ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.
Sedangkan dari segi istilahnya, sabar
adalah:
Menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari
keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar
adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan
tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah
refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga
sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru
orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah
kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang
dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW memerintahkan umatnya
untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah,
yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang). Artinya untuk berbuat
seperti itu perlu kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang
menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain sebagainya. Sabar dalam
jihad juga berarti keteguhan untuk menghadapi musuh, serta tidak lari dari
medan peperangan. Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah
salah satu indikasi tidak sabar.
Sabar
Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur'an
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat
yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat
103 kali disebut dalam al-Qur'an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar;
baik berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran
menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari
ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi
beberapa macam;
1. Sabar merupakan perintah Allah SWT.
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: "Hai orang-orang yang
beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai
perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Diantaranya
adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.
2. Larangan isti'ja l(tergesa-gesa/
tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35):
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati
dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka…"
3. Pujian Allah bagi orang-orang yang
sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177: "…dan orang-orang yang
bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa."
4. Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran (3:
146) Allah SWT berfirman : "Dan Allah mencintai orang-orang yang
sabar."
5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang
yang sabar. Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang
sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46) ; "Dan bersabarlah kamu, karena
sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar."
6. Mendapatkan pahala surga dari Allah.
Allah mengatakan dalam al-Qur'an (13: 23 - 24); "(yaitu) surga `Adn yang
mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari
bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat
masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan):
"Salamun `alaikum bima shabartum" (keselamatan bagi kalian, atas
kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan
itu."
Inilah diantara gambaran Al-Qur'an
mengenai kesabaran. Gembaran-gambaran lain mengenai hal yang sama, masih sangat
banyak, dan dapat kita temukan pada buku-buku yang secara khusus membahas
mengenai kesabaran.
Kesabaran
Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits.
Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda
Rasulullah SAW yang menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus
Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara
garis besar, hadits-hadits tersebut menggambarkan kesabaran sebagai berikut;
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat terang). Karena
dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah
SAW mengungkapkan, "…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…"
(HR. Muslim)
2. Kesabaran merupakan sesuatu yang
perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah
menggambarkan: "…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk
sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari)
3. Kesabaran merupakan anugrah Allah
yang paling baik. Rasulullah SAW mengatakan, "…dan tidaklah seseorang itu
diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran."
(Muttafaqun Alaih)
4. Kesabaran merupakan salah satu sifat
sekaligus ciri orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah;
"Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya
adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia
mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa
musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut
adalah baik baginya." (HR. Muslim)
5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan
pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata,
bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman,
"Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar,
maka aku gantikan surga baginya." (HR. Bukhari)
6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu
Mas'ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas'ud
berkata"Seakan-akan aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah
seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap
darah dari wajahnya seraya berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena
sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Bukhari)
7. Kesabaran merupakan ciri orang yang
kuat. Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat
bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki
jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)
8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan dalam sebuah
haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda, "Tidaklah
seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya
dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan
menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)
9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa
hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa
hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik
baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan; Dari Anas
bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang
diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang
menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa,
'Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan
wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk-Bentuk
Kesabaran
Para ulama membagi kesabaran menjadi
tiga hal; sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan
kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah:
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.
Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara
tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau
dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar.
Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena
bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya,
(malas dan kikir), seperti haji dan jihad.
Kemudian untuk dapat merealisasikan
kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal,
(1) Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu
kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya'.
(2) Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di
tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan
sunah-sunahnya.
(3) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak
membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang
lain.
2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada
kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi),
dusta, memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka
pada hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Dan perbuatan maksiat
identik dengan hal-hal yang "menyenangkan".
3. Sabar dalam menghadapi ujian dan
cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi
ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai
dsb.
Aspek-Aspek
Kesabaran sebagaimana yang Digambarkan dalam Hadits
Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat beberapa hadits yang secara
spesifik menggambarkan aspek-aspek ataupun kondisi-kondisi seseroang diharuskan
untuk bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan merupakan ‘pembatasan’ pada
bidang-bidang kesabaran, melainkan hanya sebagai contoh dan penekanan yang
memiliki nilai motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai
permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang ditekankan agar kita
bersabar adalah :
1. Sabar terhadap musibah.
Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran yang paling sering
dinasehatkan banyak orang. Karena sabar dalam aspek ini merupakan bentuk sabar
yang Dalam sebuah hadits diriwayatkan, :
Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW melewati seorang
wanita yang sedang menangis di dekat sebuah kuburan. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.’ Wanita tersebut
menjawab, ‘Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui dan
tidak bisa merasakan musibah yang menimpaku.’ Kemudian diberitahukan kepada
wanita tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah Rasulullah SAW. Lalu
ia mendatangi pintu Rasulullah SAW dan ia tidak mendapatkan penjaganya.
Kemudian ia berkata kepada Rasulullah SAW, ‘(maaf) aku tadi tidak mengetahui
engkau wahai Rasulullah SAW.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sabar itu
terdapat pada hentakan pertama.’ (HR. Bukhari Muslim)
2. Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda : Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi
musuh. Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah (untuk
menghadapinya).” HR. Muslim.
3. Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai.
Dalam sebuah riwayat digambarkan; Dari Ibnu Abbas ra beliau meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melihat pada amir (pemimpinnya)
sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar. Karena siapa yang
memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, kemudian ia mati. Maka ia mati dalam
kondisi kematian jahiliyah. (HR. Muslim)
4. Sabar terhadap jabatan &
kedudukan.
Dalam sebuah riwayat digambarkan : Dari Usaid bin Hudhair bahwa seseorang dari
kaum Anshar berkata kepada Rasulullah SAW; ‘Wahai Rasulullah, engkau mengangkat
(memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat (memberi kedudukan
kepadaku). Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku
‘atsaratan’ (yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang lainnya), maka
bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku pada telagaku (kelak). (HR.
Turmudzi).
5. Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan masyarakat.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim
apabila ia berinteraksi dengan masyarakat serta bersabar terhadap dampak
negatif mereka adalah lebih baik dari pada seorang muslim yang tidak
berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas kenegatifan mereka.
(HR. Turmudzi)
6. Sabar dalam kerasnya kehidupan dan
himpitan ekonomi
Dalam sebuah riwayat digambarkan; ‘Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan
himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat baginya
pada hari kiamat. (HR. Turmudzi).
Kiat-kiat Untuk
Meningkatkan Kesabaran
Ketidaksabaran (baca; isti'jal)
merupakan salah satu penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi
sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif dari amalan yang dilakukan
seorang insan. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam
kemaksiatan, enggan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dsb. Oleh karena
itulah, diperlukan beberapa kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara
kiat-kiat tersebut adalah;
1. Mengkikhlaskan niat kepada Allah SWT,
bahwa ia semata-mata berbuat hanya untuk-Nya. Dengan adanya niatan seperti ini,
akan sangat menunjang munculnya kesabaran kepada Allah SWT.
2. Memperbanyak tilawah (baca; membaca)
al-Qur'an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal
lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan makna-makna
yang dikandungnya. Karena al-Qur'an merupakan obat bagi hati insan. Masuk dalam
kategori ini juga dzikir kepada Allah.
3. Memperbanyak puasa sunnah. Karena
puasa merupakan hal yang dapat mengurangi hawa nafsu terutama yang bersifat
syahwati dengan lawan jenisnya. Puasa juga merupakan ibadah yang memang secara
khusus dapat melatih kesabaran.
4. Mujahadatun Nafs, yaitu sebuah usaha
yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan
keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti
malas, marah, kikir, dsb.
5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup
di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
Sedangkan ketidaksabaran (isti'jal), memiliki prosentase yang cukup besar untuk
menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa
sesungguhnya Allah akan melihat "amalan" seseorang yang dilakukannya,
dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. 9 : 105)
6. Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara pribadi. Seperti ketika
sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada
menyaksikan televisi misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian
rezeki untuk infaq fi sabilillah, dsb.
7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran
para sahabat, tabi'in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga
akan menanamkan keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia.
Penutup
Perilaku terpuji
(tawadlu, taat, qana’ah, dan sabar) 7.1
Untuk materi ini
mempunyai 3 Kompetensi Dasar yaitu:
Kompetensi Dasar :
1. Menjelaskan pengertian tawadlu, taat, qana’ah, dan sabar.
2. Menampilkan contoh-contoh perilaku tawadlu, taat, qana’ah, dan sabar.
3. Membiasakan perilaku tawadlu, taat, qana’ah, dan sabar.
Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam adalah seorang yang sangat elok akhlaknya
dan sangat agung wibawanya. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an sebagaimana yang
dituturkan ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, yang artinya: “Akhlak
Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam adalah Al-Qur’an.” (HR: Muslim). Beliau
juga pernah bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Adapun sifat sifat
terpuji itu diantaranya adalah
§
Tawadhu
§
Taat
§
Qana'an
§
Sabar dll.
Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat terpuji di
hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita memilikinya?
Merendahkan diri
(tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di
hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah
dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak
sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’''adalah ketundukan kepada
kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam
keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua
orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat
tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan
Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
(Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud z)
Jika
anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau
mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat
sombong.
Tahukah anda apa yang
diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang
diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan
semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah?
Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap
tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.
Tawadhu’ di Hadapan
Kebenaran
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah
sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat
suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Fudhail bin Iyadh t
(seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan
kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun
yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah
bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih,
HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)
Ibnul Qayyim t dalam
kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
“Barangsiapa yang
angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang
yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah
kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya
haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa
menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang
datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
Perintah untuk Tawadhu’
Dalam pembahasan masalah
akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab:
21)
Dalam hal ini banyak
ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah
tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu
orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri
sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat
zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu
sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan
kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan
keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para
ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk
penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di
antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak
mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia
karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).
Beribadah secara Lillahitaalla (ikhlas) selalu taat, merupakan salah satu cara
untuk mendekatkan diri dan sangat disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Taat secara
bahasa adalah senantiasa tunduk dan patuh, baik terhadap Allah, Rasul maupun
ulil amri. Hal ini sudah tertuang didalam Qs An Nisa ayat 59
“ Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul ( Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya “.
Berpedoman pada sepotong firman Allah diatas yang memerintahkan orang-orang yang
beriman supaya selalu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah, Rasul maupun ulil
amri. Soal pemimpin yang bagaimana yang harus ditaati tsb ? tentu pemimpin
yang juga taat kepada Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah pemimpin yang
memiliki sifat seperti yang di uraikan diatas ? yang lebih mengutamakan
kepentingan umum&rakyat badarai diatas kepentingan pribadi dan
keluarganya ?.
Taat pada Allah tidak hanya asal taat, didalam pelaksanaan teknisnya harus
benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dan dengan
tampa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya. Sebenarnya apa-apa yang
menjadi perintah Allah Taalla sudah tidak diragukan lagi pasti tersimpan segala
kemaslahatan (kebaikan), sedangkan apa-apa yang menjadi larangan-Nya sudah
tertulis akan segala kemudharatanya (keburukan). Kemudharatan (bencana alam
dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari tidak
menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Qs Ali Imran ayat 32
memperjelasnya :
“ Katakanla, taatilah
Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir “.
Begitu juga ketaatan kepada Rasul, yaitu Rasulullah Saw dengan selalu
meimplementasikan yang terdapat dalam hadis beliau. Sebagai utusan Allah Nabi
Muhammad Saw mempunyai tugas menyampaikan amanah kepada umat manusia tampa
memandang status, jabatan, suku dsb. Oleh karena itu bagi setiap muslim yang
taat kepada Allah Swt harus melengkapinya dengan mentaati segala perintah
Rasulullah Saw sebagai utusan-Nya. Sebagai mana yang difirmankan Allah didalam
Qs At Taqabun ayat 12
“ Dan taatlah kepada
Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang “.
Allah Swt adalah adalah khalik, pencipta alam semesta beserta isinya ini.
Rasulullah Saw adalah utusan-Nya untuk seluruh umat manusia bahkan kelahiran
dari beliau Saw alam semesta ini mendapat rahmat yang tidak ternilai harganya.
Oleh karena itu siapapun yang telah berikrar (bersyahadad) maka dengan
sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada keduanya dalam
situasi dan kondisi apapun. Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan diatas
akan lebih sempurna kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan kepada ulil
amri atau pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus selalu taat dan
mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selam
peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang dari aturan
agama Islam. Ketaatan itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin
dalam artian luas saja dalam artian sempitpun harus menjadi keseharian kita,
seperti kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi.
Seorang anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada
gurunya, istri kepada suaminya agar kasus-kasus perceraian yang marak terjadi
belakangan ini dan dengan berbagai macam penyebabnya dapat diminimalisir dsb.
Dari Ibnu Umar Ra. Nabi Muhammad Saw bersabda :
“ Wajib bagi seorang
muslim mendengarkan dan taat sesuai dengan yang disukai dan apabila diperintah
untuk menjalankan maksiat jangan dengarkan dan jangan taati “. ( Hr. Muslim ).
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil amri merupakan
ketaatan yang akan berakibat baik terhadap amal ibadah kita selama ketatan
tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk kebohongan, penyakit hati,
kemunafikan dsb. Malah Islam sangat memuliakan umatnya yang memiliki sifat
tawaduk dengan selalu merendahkan hati baik terhadap Allah maupun terhadap
sesama manusia. Kita sebagai muslim harus menyadari bertawaduk merupakan bagian
dari akhlakul karimah yang melahirkan manusia-manusia yang berprilaku baik,
dengan memunculkan suatu kesadaran akan hakikat kejadian dirinya dan tidak
pernah mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih pintar, lebih kaya,
lebih ganteng, lebih cantik maupun lebih-lebih lainya antara dirinya dengan
orang lain.
“ Dan hamba-hamba tuhan
yang maha penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka.mereka mengucapkan
kata-kata yang baik ‘. ( Qs Al Furqan-63 ).
Sifat Terpuji Qana'ah ( Berfikir Positif )
A. Pengertian Qana’ah
Qana’ah artinya rela
menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari
sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup
bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan
berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan
tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT.
Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan
diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW Bersabda :
" Abdullah bin Amru
r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya beruntung orang yang
masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah
berikan kepadanya. (H.R.Muslim)
orang yang memiliki
sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada
dirinya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT :
" Tiada sesuatu
yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya". (Hud : 6)
B. Qana’ah dalam
kehidupan
Qana’ah seharusnya
merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat menjadi
pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam
keserakahan. Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup
seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai
sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan
berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan
kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita
perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun
hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang
yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan,
bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial.
Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :
„ Dari Abu Hurairah r.a.
bersabda Nabi SAW : „ Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan
yang sebenarnya adalah kekayaan hati". ( H.R.Bukhari dan Muslim)
karena hatinya
senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qana’ah,
terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka
meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa
yang diberikan Allah kepadanya.
Disamping itu Qana’ah
juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong
seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap
bergantung kepada karunia Allah.
Berkenaan dengan Qana’ah
ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat kepada Hakim bin Hizam
sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini :
„ Dari Hakim bin Hizam
r.a. Ia berkata : saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan
beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun
tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim ! harta ini
memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang,
pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati
yang rakus pasti tidak berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung
kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ;
Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya
tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia.
Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya
belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima
sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum
muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah
memberikan haknya yang diberikan Alah padanya". (H.R.Bukhari dan Muslim )
Qana’ah itu bersangkut
paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk menumbuhkan
sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin
merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah
membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan
didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan
dicapainya. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :
„ Qana’ah itu adalah
simpanan yang tak akan pernah lenyap". (H.R.Thabrani)
demikianlah betapa
pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang apabila dimiliki oleh setiap orang
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong terwujudnya
masyarakat yang penuh dengan ketentraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari
keserakahan,seta selal berfikir positif dan maju.
Betapa tidak, karena
sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur pokok yang dapat membangun pribadi
muslim yang menerima dengan rela apa adanya, memohon tambahan yang pantas
kepada Allah serta usahadan ikhtiar, menerima ketentuan Allah dengan sabar,
bertawakkal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Sabar adalah pilar
kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga
dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar
dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong
maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir
Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga
macam:
1. Bersabar dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa
berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan
manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil
Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai
berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk
bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada
sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya
adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan
dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman
Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al
Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah
pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua
urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan
abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan
atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman,
“Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di
surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun
menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi
yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan
Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan
petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut
Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang
berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian,
mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga Allah merahmati
Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan
dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam
Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang
terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya
karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali
orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul,
hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan
Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar
dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan
ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula
orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang
mereka.
Sehingga gangguan berupa
ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan
terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana
orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang
menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah
sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus
bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat
itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal
mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada
seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa
melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia
mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut
mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah
maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia
memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para
pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung
dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan
berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari
kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada
Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun
bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai
tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan
yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah
pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup
saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang
dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya
serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang
didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para
da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam
menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang
didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan
gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa
salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum
mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau
orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla
berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang
berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun,
hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam
meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas
padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah
bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir
dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga
mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan
Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau
mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash
mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa
kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama
ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan
iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai
badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah
sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat
tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada
cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid
di masa silam.
Mereka disakiti,
diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai
meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan
pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah
ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji
Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah
berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang
tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah
riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan
pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR.
Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan
Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu
‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad
bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada
Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam
kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah
umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam
al-Qur’an.
Di antara mereka ada
yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena
disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada
juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada
juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut
memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka
masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka
ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada
yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami
benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan
Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua
terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa
ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka
kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang
sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan
diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang
sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di
hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan
berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS.
Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam
Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad
bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran
adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya
yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam
raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah
yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai
musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain
sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam
semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al
Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat
sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul
‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang
bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati
kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang
sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan
ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa
larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa
ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya
dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan
adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at
dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu
ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan
dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah
jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah
hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman:
‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji
(manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan
Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian
jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan
diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai
kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai
larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan
takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh
sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar
dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala
menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya
dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun
membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau
lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari
kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba,
sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan
tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka
mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau
membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan
tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga
ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar
artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si
polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah
inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar
karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah,
menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak
mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain
dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari
mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan
kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar
adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan
maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab
Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan
“Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk
salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi
mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran
itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang
kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan”